Kamis, 03 Juli 2008

Madrasah Lumut

Di luar kira-kira, Habib, aku memuai di terik siang. Serupa menggala tengah hari, aku kulai ditindih cerita tentang embun yang harus pulang ke relung awan. Ziarahku tiba-tiba dingin. Aku tak kuasa melarang airmata tumpah ketika memandang madrasah kita dibungkus lumut.
Jika hanya sunyi yang meleleh, aku dapat mengajak pikiranku menyusuri kembali kisah-kisah lama, mengulas kenangan, ketika aku dan ratusan teman-teman mengakrabi kitab-kitab, meja, dan bangku-bangku di madrasah ini. Tapi tidak hanya sunyi yang kutemukan. Aku juga menuai sakit. Di tangga gerbang yang di sisi atasnya tumbuh sebatang pohon jambu, lumut hijau menjalar angkuh. Dari berbagai arah, gumpalan lumut yang lain merangkak perlahan seperti mau menggulungku.
Ketika kukayuh langkah menuju peristirahatan terakhirmu, kurasakan teduh matamu menikamku. Aku tak sanggup menepis bayangmu yang hadir bersama tumpukan kenangan. Ada suara-suara yang ngiang di selaput gendang: gemuruh amin kala kau mendoakan kami; riuh tanya-jawab di lokal; keprihatinanmu terhadap masyarakat di sekitar madrasah yang sampai waktu itu belum juga bisa menikmati air bersih. Tentang abang-abang becak di pasar kecil yang rela berkeringat sepanjang musim demi menyuapi keluarga, juga tentang kami yang harus berhadapan dengan hiruk-pikuk kemajuan yang mendangkalkan iman. Pun, tak akan kulupakan, Habib, nasihatmu tentang kediaman terakhirmu:

Paradoks Pacaran

Pacaran sering di anggap sebagai bentuk pembelajaran. Argumennya, sebelum memastikan pasangan ada bagusnya mengenal dulu calon pasangan tersebut. Tapi apakah betul begitu?
Justru sebaliknya, pacaran adalah sesuatu yang tidak rasional. Dengan pacaran orang terpaksa, secara sadar atau tidak, untuk mencari kesempurnaan. Pembandingan selalu terjadi: dia lebih perhatian, dia lebih cakep, dia lebih mengerti saya dll. Pacaran jadi bertujuan menemukan sesorang yang sempurna. Padahal jatuh cinta (hati) berdasar pada ketidaksempurnaan: senyum dia, cara dia jalan, suara dia kalo ketawa, wajahnya ketika bengong. Singkatnya hati justru hanya bisa mengerti yang tak sempurna.