Senin, 16 November 2009

Motivasi

Kita sering pesimis ketika gagal, padahal terdapat peluang yang tidak terbatas di dunia ini seperti tak sebatasnya langit yang terbentang

Jumat, 16 Januari 2009

Karena Dia Manusia Biasa

Setiap kali ada teman yang mau menikah, saya selalu mengajukan pertanyaan yang sama. Kenapa kamu memilih dia sebagai suamimu/istrimu? Jawabannya sangat beragam. Dari mulai jawaban karena Allah hingga jawaban duniawi (cakep atau tajir :D manusiawi lah :P). Tapi ada satu jawaban yang sangat berkesan di hati saya. Hingga detik ini saya masih ingat setiap detail percakapannya. Jawaban salah seorang teman yang baru saja menikah. Proses menuju pernikahannya sungguh ajaib. Mereka hanya berkenalan 2 bulan. Lalu memutuskan menikah. Persiapan pernikahan hanya dilakukan dalam waktu sebulan saja. Kalau dia seorang akhwat, saya tidak akan heran. Proses pernikahan seperti ini sudah lazim. Dia bukanlah akhwat, sama seperti saya. Satu hal yang pasti, dia tipe wanita yang sangat berhati-hati dalam memilih suami. Trauma dikhianati lelaki membuat dirinya sulit untuk membuka diri. Ketika dia memberitahu akan menikah, saya tidak menanggapi dengan serius. Mereka berdua baru kenal sebulan. Tapi saya berdoa, semoga ucapannya menjadi kenyataan. Saya tidak ingin melihatnya menangis lagi.

Kamis, 03 Juli 2008

Madrasah Lumut

Di luar kira-kira, Habib, aku memuai di terik siang. Serupa menggala tengah hari, aku kulai ditindih cerita tentang embun yang harus pulang ke relung awan. Ziarahku tiba-tiba dingin. Aku tak kuasa melarang airmata tumpah ketika memandang madrasah kita dibungkus lumut.
Jika hanya sunyi yang meleleh, aku dapat mengajak pikiranku menyusuri kembali kisah-kisah lama, mengulas kenangan, ketika aku dan ratusan teman-teman mengakrabi kitab-kitab, meja, dan bangku-bangku di madrasah ini. Tapi tidak hanya sunyi yang kutemukan. Aku juga menuai sakit. Di tangga gerbang yang di sisi atasnya tumbuh sebatang pohon jambu, lumut hijau menjalar angkuh. Dari berbagai arah, gumpalan lumut yang lain merangkak perlahan seperti mau menggulungku.
Ketika kukayuh langkah menuju peristirahatan terakhirmu, kurasakan teduh matamu menikamku. Aku tak sanggup menepis bayangmu yang hadir bersama tumpukan kenangan. Ada suara-suara yang ngiang di selaput gendang: gemuruh amin kala kau mendoakan kami; riuh tanya-jawab di lokal; keprihatinanmu terhadap masyarakat di sekitar madrasah yang sampai waktu itu belum juga bisa menikmati air bersih. Tentang abang-abang becak di pasar kecil yang rela berkeringat sepanjang musim demi menyuapi keluarga, juga tentang kami yang harus berhadapan dengan hiruk-pikuk kemajuan yang mendangkalkan iman. Pun, tak akan kulupakan, Habib, nasihatmu tentang kediaman terakhirmu:

Paradoks Pacaran

Pacaran sering di anggap sebagai bentuk pembelajaran. Argumennya, sebelum memastikan pasangan ada bagusnya mengenal dulu calon pasangan tersebut. Tapi apakah betul begitu?
Justru sebaliknya, pacaran adalah sesuatu yang tidak rasional. Dengan pacaran orang terpaksa, secara sadar atau tidak, untuk mencari kesempurnaan. Pembandingan selalu terjadi: dia lebih perhatian, dia lebih cakep, dia lebih mengerti saya dll. Pacaran jadi bertujuan menemukan sesorang yang sempurna. Padahal jatuh cinta (hati) berdasar pada ketidaksempurnaan: senyum dia, cara dia jalan, suara dia kalo ketawa, wajahnya ketika bengong. Singkatnya hati justru hanya bisa mengerti yang tak sempurna.